Monday, September 12, 2016

Stereotipe versi Tere Liye

IKLAN ANDA

Stereotipe

Apa itu stereotipe (stereotype)? Adalah penilaian kepada seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan.


Secara teoritis, stereotipe ini bisa positif, pun bisa negatif.


Tapi kebanyakan, istilah ini berurusan pada persoalan negatif.

Saat kita menilai orang lain, simpel hanya karena melihat dia berada di kelompok mana. Oh, si A itu begitu, oh si B itu begini.

Apakah kita kenal secara personal dengan si A dan Si B? Tidak. Tentu saja penilaian ini seringkali jadi tidak akurat, gimana mau akurat kalau seseorang hanya dinilai dari kelompoknya saja. Ras, suku bangsa, bahasa, agama, adalah contoh stereotipe yang kadang kejam sekali.

Karena seseorang memakai baju merah, bukan berarti kita bisa menjelaskan sifat dan tabiat aslinya dari kelompok si baju merah.

Zaman dulu, stereotipe ini tidak terlalu mematikan. Asal muasal stereotipe itu lebih banyak dari pengalaman personal seseorang terhadap sebuah kelompok. Saat dia merasa dikecewakan, disakiti, dia berpotensi menyimpulkan anggota seluruh kelompok ini pastilah demikian.
Ah semua cowok itu bajingan! (misalnya). Situasi ini masuk akal, toh dia memang punya
pengalaman buruk dengan cowok. Tapi hari ini, stereotipe tidak lagi begitu.

Asal muasal stereotipe jaman sekarang kadang sepele sekali. Cukup dari pemberitaan, cukup dari kicauan di media sosial, tanpa perlu pengalaman langsung, orang2 dengan cepat bisa menyimpulkan. Padahal apakah dia kenal dekat dengan kelompok tsb? Tidak juga. Apakah dia punya pengalaman buruk? Sama sekali tidak.

Simpel karena termakan berita, celoteh, dia percaya begitu saja. Apesnya, kita tahu sama tahu, industri media hari ini jauh dari standar etika yang memadai. Website berita gila traffic, mendewa2kan jumlah klik. Akun2 media sosial gila like, komen, follower.

Lembaga berita yang mengaku sangat independen sekalipun tetap saja ada persentase subyektifnya. Maka ini sangat mematikan, orang sedunia bisa digiring kesimpulannya oleh sepotong berita/tulisan tak bertanggungjawab.

Pada akhirnya, stereotipe tidak lebih tidak kurang justeru simbol ketakutan, kecemasan dari orang yang tidak kenal secara dekat, tidak memahami secara komplit.

Stereotipe hanyalah tameng, benteng, dari ketidakbersediaan kita memahami orang lain, puas sekali melakukannya, padahal kitalah yang bermasalah.

Lagi2, saya tidak bilang stereotipe itu negatif, atau tidak akurat. Karena di sisi lain, stereotipe itu bisa akurat 100%, dan pun bisa bersifat positif penilaiannya.

Ketahuilah, dalam setiap perdebatan, perbedaan pendapat, juga keributan di dunia nyata dan dunia maya, hampir bisa dipastikan stereotipe ini hadir.

Kita lebih sering bertengkar karena prasangka stereotipe.

Kita mudah sekali mengomentari sesuatu juga karena ini. Nyatanya, apakah sesuatu atau seseorang itu seperti sangkaan kita? Tidak.

Ijinkan Tere Liye menutup catatan ini dengan nasehat lama yang sering di posting di page facebook Tere Liye

“Saat kita mengobrol dengan seseorang selama 30 menit, kita ternyata menyadari, ada banyak prasangka dan penilaian kita selama ini yang keliru.

Saat kita menghabiskan waktu bersamanya selama 3 jam, kita tambah menyadari, ada banyak penilaian kita selama ini yang salah sangka.

Dan saat kita bermalam di rumahnya, tinggal di rumahnya, mengenal lebih dekat kehidupannya, kita akan maksimal menyadari, ternyata, kita tidak tahu apa-apa tentang orang tersebut sebelumnya, dan sekarang baru tahu betapa fatalnya penilaian kita.

Di dunia maya ini, di tengah hingar-bingar teknologi informasi, 99% dari kita nyaris hanya menilai orang lain bahkan tanpa pernah ngobrol 30 menit dengannya. Kebencian, pun atau sebaliknya, rasa suka, idola, nge-fans apapun jenisnya, hanya sebatas penilaian kulit luar saja.

Maka sungguh beruntung orang2 yang bisa mengendalikan dirinya dari penilaian berlebihan. Selalu berpikir positif dan selalu bisa melihat kebaikan dari keburukan sekalipun.

Semoga masih banyak yang bersedia memikirkannya.

2 Komentar


EmoticonEmoticon