Saturday, November 5, 2016

Kisah dan Hikmah - di ambil dari kisah Fir'aun dan Qarun versi Tere Liye

IKLAN ANDA



Kisah dan Hikmah - Tulisan ini saya tulis ulang dari tulisan pengarang novel Tere Liye, ada sedikit yang saya ubah dari tulisannya, tapi jangan kuatir, tidak sedikitpun merubah inti dari tulisan ini.

Saya merasa tulisan ini sangat bagus di baca untuk kita, supaya kita tidak terlalu berambisi untuk sesuatu yang tidak akan kekal.

Kalian tau Fir'aun, tentunnya kita semua tau kisahnya, ketika Fir’aun menduduki tahtanya, dia tertawa lebar, berseru jumawa, seolah telah memenangkan dunia.

Tapi sungguh, dia tidak memenangkan apapun. Kekuasaan itu hanya titipan. Jika bukan orang lain yang akan menghabisinya, waktulah yang akan mengalahkannya. Waktu adalah pembunuh terbaik untuk kekuasaan sebesar apapun.

Saat waktunya tiba, nyawanya melesat dari tubuhnya, seluruh kekuasaan itu musnah, tak sedikitpun dari kekuasaan itu yang mampu menolong nyawanya.

Ketika Qarun tersenyum lebar melihat harta miliknya, yang rangkaian kunci ruangan penyimpannya saja butuh belasan orang untuk mengangkatnya, yang dari namanya itulah bermula istilah "harta karun".

Terkekeh Qarun menyaksikan betapa kaya rayanya dia, seolah telah memenangkan dunia.

Tapi sungguh, dia tidak memenangkan apapun. Apanya yang dia berhasil menangkan?

Persis saat maut menjemput, mati, tidak sepeser pun dari harta yang menggunung itu dia bawa ke alam kubur.

Hanya menyisakan tubuhnya yang busuk dimakan ulat. Sungguh, tidakkah kita mau memikirkan hal-hal seperti ini.

Apa sih pentingnya orang2 berebut berkuasa?

Habis2an sekali pengin jadi penguasa?

Apa sih mendesaknya orang2 berebut pengin kaya?

Dia bungkus dengan hipokrasi, dia bangun argumen seolah baik, berkuasa biar membuat perubahan, kaya biar banyak sedekah, dsbgnya, oh come on.

Jika seseorang ingin membuat perubahan, dia tidak butuh berkuasa. Jika dia ingin banyak sedekah, ayolah, orang miskin pun bisa bersedekah tanpa perlu tunggu kaya.

Nyata-nyatanya, semua itu bermuara pada ambisi. Nafsu. Kita bisa memasang topeng suci di wajah kita, untuk di hati kita, menggeliat keinginan untuk pamer, show off, inilah saya, lebih baik dari siapapun.

Maka, hingga titik kapan kita akan menyadari, kita tidak memenangkan trophy apapun saat telah menggapai itu semua.

Fir’aun tidak dapat apa-apa kecuali dicatat sebagai "diktator" paling buruk sedunia.

Qarun? Dia hanya diingat sebagai si rakus yang dibenamkan ke dalam tanah.

Ketenaran, trending topics, diperhatikan banyak orang, popularitas, juga kosong saja. Kita tidak memenangkan apapun meski seluruh dunia mengenal kita. Lantas apa yang bisa kita menangkan dalam hidup ini?

Hanyalah kedamaian di dalam hati. Itulah kemenangan terbesarnya. Mau sekecil apapun fungsi hidup kita di dunia (cleaning service, buruh tani, tukang becak), mau sesederhana apapun hidup kita (tinggal di rumah kontrakan, bocor pula), sekali kita memiliki kedamaian di dalam hati, kita telah memenangkan kehidupan. Tersenyum dalam kebersahajaan. Menatap perahu kehidupan kita telah tiba di akhirnya. Happy ending.

Peduli amat dengan  apakah ada orang yang tahu tentang kita, peduli amat dengan apakah berjuta-juta orang meneriakkan nama kita, karena itu tidak penting.

Bicara tentang kedamaian hati, itu bicara tentang kita sendiri. Kebahagiaan tidak dititipkan di hati orang lain. Jangan tertukar sekali memahami hakikat kehidupan.

Mati- matian, sikut-sikutan orang berebut sesuatu.

Saat dia sudah tiba di sana, apakah dia menang? Tidak.

Boleh jadi dia hanya menambah daftar Fir’aun dan Qarun berikutnya. "Tere Liye".




Semoga tulisan di atas bisa menyadarkan kita. Amiin



EmoticonEmoticon