Thursday, April 28, 2016

kebohongan seorang ibu😭

IKLAN ANDA



PEMBOHONGAN IBU YANG PERTAMA.

Cerita ini bermula ketika saya masih kecil. Saya lahir
sebagai seorang anak lelaki dalam sebuah keluarga
sederhana. Makan minum serba kekurangan. Kami sering
kelaparan. Adakalanya, selama beberapa hari kami
terpaksa makan ikan asin satu keluarga. Sebagai anak
yang masih kecil, saya sering merengut. Saya menangis,
ingin nasi dan lauk yang banyak. Tapi ibu pintar
berbohong. Ketika makan, ibu sering membagikan nasinya
untuk saya. Sambil memindahkan nasi ke mangkuk saya,
ibu berkata : ”Makanlah nak ibu tak lapar.”




PEMBOHONGAN IBU YANG KEDUA

Ketika saya mulai besar, ibu yang gigih sering
meluangkan watu senggangnya untuk pergi memancing di
sungai sebelah rumah. Ibu berharap dari ikan hasil
pancingan itu dapat memberikan sedikit makanan untuk
membesarkan kami. Pulang dari memancing, ibu memasak
ikan segar yang mengundang selera. Sewaktu saya
memakan ikan itu, ibu duduk disamping kami dan
memakan sisa daging ikan yang masih menempel di tulang
bekas sisa ikan yang saya makan tadi. Saya sedih
melihat ibu seperti itu. Hati saya tersentuh lalu
memberikan ikan yg belum saya makan kepada ibu. Tetapi
ibu dengan cepat menolaknya. Ibu berkata : “Makanlah
nak, ibu tak suka makan ikan.”




PEMBOHONGAN IBU YANG KETIGA.

Di awal remaja, saya masuk sekolah menengah. Ibu
biasa membuat kue untuk dijual sebagai tambahan uang
saku saya dan abang. Suatu saat, pada dinihari lebih
kurang pukul 1.30 pagi saya terjaga dari tidur. Saya
melihat ibu membuat kue dengan ditemani lilin di
hadapannya. Beberapa kali saya melihat kepala ibu
terangguk karena ngantuk. Saya berkata : “Ibu,
tidurlah, esok pagi ibu kan pergi ke kebun pula.” Ibu
tersenyum dan berkata : “Cepatlah tidur nak, ibu belum
ngantuk.”




PEMBOHONGAN IBU YANG KEEMPAT.

Di akhir masa ujian sekolah saya, ibu tidak pergi
berjualan kue seperti biasa supaya dapat menemani saya
pergi ke sekolah untuk turut menyemangati. Ketika hari
sudah siang, terik panas matahari mulai menyinari, ibu
terus sabar menunggu saya di luar. Ibu seringkali saja
tersenyum dan mulutnya komat-kamit berdoa kepada
Illahi agar saya lulus ujian dengan cemerlang. Ketika
lonceng berbunyi menandakan ujian sudah selesai, ibu
dengan segera menyambut saya dan menuangkan kopi
yang sudah disiapkan dalam botol yang dibawanya. Kopi
yang kental itu tidak dapat dibandingkan dengan kasih
sayang ibu yang jauh lebih kental. Melihat tubuh ibu
yang dibasahi peluh, saya segera memberikan cawan saya
itu kepada ibu dan menyuruhnya minum. Tapi ibu cepat-
cepat menolaknya dan berkata : “Minumlah nak, ibu tak
haus!!”




PEMBOHONGAN IBU YANG KELIMA.

Setelah ayah meninggal karena sakit, selepas saya baru
beberapa bulan dilahirkan, ibulah yang mengambil tugas
sebagai ayah kepada kami sekeluarga. Ibu bekerja
memetik cengkeh di kebun, membuat sapu lidi dan
menjual kue-kue agar kami tidak kelaparan. Tapi apalah
daya seorang ibu. Kehidupan keluarga kami semakin
susah dan susah. Melihat keadaan keluarga yang
semakin parah, seorang tetangga yang baik hati dan
tinggal bersebelahan dengan kami, datang untuk
membantu ibu. Anehnya, ibu menolak bantuan itu. Para
tetangga sering kali menasihati ibu supaya menikah lagi
agar ada seorang lelaki yang menjaga dan mencarikan
nafkah untuk kami sekeluarga. Tetapi ibu yang keras
hatinya tidak mengindahkan nasihat mereka. Ibu berkata
: “Saya tidak perlu cinta dan saya tidak perlu laki-
laki.”




PEMBOHONGAN IBU YANG KEENAM.

Setelah kakak-kakak saya tamat sekolah dan mulai
bekerja, ibu pun sudah tua. Kakak-kakak saya menyuruh
ibu supaya istirahat saja di rumah. Tidak lagi bersusah
payah untuk mencari uang. Tetapi ibu tidak mau. Ibu
rela pergi ke pasar setiap pagi menjual sedikit sayur
untuk memenuhi keperluan hidupnya. Kakak dan abang
yang bekerja jauh di kota besar sering mengirimkan uang
untuk membantu memenuhi keperluan ibu, pun begitu ibu
tetap berkeras tidak mau menerima uang tersebut. Malah
ibu mengirim balik uang itu, dan ibu berkata : “Jangan
susah-susah, ibu ada uang.”




PEMBOHONGAN IBU YANG KETUJUH.

Setelah lulus kuliah, saya melanjutkan lagi untuk
mengejar gelar sarjana di luar Negeri. Kebutuhan saya
di sana dibiayai sepenuhnya oleh sebuah perusahaan
besar. Gelar sarjana itu saya sudahi dengan cemerlang,
kemudian saya pun bekerja dengan perusahaan yang telah
membiayai sekolah saya di luar negeri. Dengan gaji yang
agak lumayan, saya berniat membawa ibu untuk
menikmati penghujung hidupnya bersama saya di luar
negara. Menurut hemat saya, ibu sudah puas bersusah
payah untuk kami. Hampir seluruh hidupnya habis dengan
penderitaan, pantaslah kalau hari-hari tuanya ibu
habiskan dengan keceriaan dan keindahan pula. Tetapi
ibu yang baik hati, menolak ajakan saya. Ibu tidak mau
menyusahkan anaknya ini dengan berkata ; “Tak usahlah
nak, ibu tak bisa tinggal di negara orang.”




PEMBOHONGAN IBU YANG KEDELAPAN .

Beberapa tahun berlalu, ibu semakin tua. Suatu malam
saya menerima berita ibu diserang penyakit kanker di
leher, yang akarnya telah menjalar kemana-mana. Ibu
mesti dioperasi secepat mungkin. Saya yang ketika itu
berada jauh diseberang samudera segera pulang untuk
menjenguk ibunda tercinta. Saya melihat ibu terbaring
lemah di rumah sakit, setelah menjalani pembedahan. Ibu
yang kelihatan sangat tua, menatap wajah saya dengan
penuh kerinduan. Ibu menghadiahkan saya sebuah
senyuman biarpun agak kaku karena terpaksa menahan
sakit yang menjalari setiap inci tubuhnya. Saya dapat
melihat dengan jelas betapa kejamnya penyakit itu telah
menggerogoti tubuh ibu, sehingga ibu menjadi terlalu
lemah dan kurus. Saya menatap wajah ibu sambil
berlinangan air mata. Saya cium tangan ibu kemudian
saya kecup pula pipi dan dahinya. Di saat itu hati saya
terlalu pedih, sakit sekali melihat ibu dalam keadaan
seperti ini. Tetapi ibu tetap tersenyum dan berkata :
“Jangan menangis nak, ibu tak sakit.”


Setelah mengucapkan pembohongan yang kedelapan itu,
ibunda tercinta menutup matanya untuk terakhir kali.
Anda beruntung karena masih mempunyai ibu dan ayah.
Anda boleh memeluk dan menciumnya. Kalau ibu anda
jauh dari mata, anda boleh menelponnya sekarang, dan
berkata, ‘Ibu,saya sayang ibu.’ Tapi tidak saya, hingga
kini saya diburu rasa bersalah yang amat sangat karena
biarpun saya mengasihi ibu lebih dari segala-galanya,
tapi tidak pernah sekalipun saya membisikkan kata-kata
itu ke telinga ibu, sampailah saat ibu menghembuskan
nafasnya yang terakhir.

Ibu, maafkan saya. Saya sayang ibu…..


EmoticonEmoticon